~Sebuah catatan kecil
dari anggia putri
Banyak
perdebatan muncul ntah karena memang sedang beradu argumen atas dasar keilmuan
atau memang untuk keseruan sebuah diskusi semata (Bhs jawa: Abang-abang lambe). Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang
pada dasarnya menganut pemikiran-pemikiran yang mengarah pada sebuah
‘pembebasan’ melalui proses-proses pendidikan. Beberapa klaim hangat lainnya
juga menjadi sorotan utama yakni bahwa PLS menyoal bagaimana pelaksanaan
dijalur pendidikan nonformal dan tatalaksana sebagai orang lapangan yang
menapaki jalan pendidikan nonformal.
Seseorang
(Mahasiswa) yang kuliah jurusan PLS tentunya memiliki partisipasi aktif dalam
membicarakan tentang apa itu pendidikan khususnya PLS, belum lagi punya sistem
atau tata aturan dalam perkuliahan yang disebut mata kuliah yang didalamnya
mengandung unsur-unsur doktrinisasi agar kita benar-benar terbentuk untuk
menjadi tenaga atau ‘teknisi’ pendidikan luar sekolah,ya memang tidak semua
merasa demikian. Namun apa jadinya jika seseorang tersebut saat ini bergelut
malah dalam bidang yang tak lepas dari keformalan ?
Anggia Putri
Farucha, ialah salah satu ‘seseorang’ itu dari sekian banyak ‘seseorang’ yang
ada, ia adalah Mahasiswi PLS Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
angkatan 2015. Saat ini anggia (begitu sapaan akrabnya) menjadi salah satu guru
di SMP PGRI 3 kepanjen. Saat diajak diskusi anggia sangat antusias sekali
membicarakan tentang dunia PLS yang ia ‘gandrungi’ sekarang ini ternyata bisa
diimplementasikan didalam keadaan formal sekalipun. Mahasiswi kelahiran malang
20 tahun silam ini mengungkapkan PLS itu memang didalamnya kita belajar tentang
apa itu nonformal namun dibalik itu semua seolah banyak mematahkan kungkungan
PLS hanya dilingkup kenonformlan saja.
Keadaan
lapangan memang tak sebaik teori yang bersama kita bicarakan pada umumnya, pada
proses mengajarnya ia selalu menggunakan etika-etika atau lebih mengkerucut
lagi kepada teknik-teknik yang ia dapatkan selama diperkuliahan saat ini. Dalam
kesempatan diskusi kami ia katakan menjadi seorang guru itu tidak mudah apa
lagi yang kini status nya adalah honorer, katanya jadi guru honorer itu “banyak
makan ati” ungkapnya sambil tertawa gurau. Ada murid yang polos,nakal,
kecepatan menangkap dari apa yang ia ajarkan hingga lambatnya dari apa ia
ajarkan dsb. Maka dari itu ia selalu menggunakan teknik-teknik ke PLSan
contohnya untuk mengetahui ‘harus diapakan murid yang seperti ini?’ ia
menggunakan need assesment ia
melakukan pendekatan persuasif kepada murid-muridnya agar ia sebagai guru
mengetahui apa yang dibutuhkan muridnya, ketika ia sudah bisa menyimpulkan maka
segera ia berusaha memfasilitasi kebutuhan murid-muridnya, cara ini ia gunakan setelah diperolehnya dalam matakuliah Identifikasi Kebutuhan dan Sumber Belajar Masyarakat (IKSBM).
Anggia sudah
cukup lama beraktifitas sebagai pengajar hanya saja pada tingkat/jenjang dan
satuan-satuan yang berbeda, dari SMP ia sudah menjadi penggajar ngaji di sebuah
madrasah diniyah, hingga saat ini menjadi guru TIK di SMP PGRI 3 Kepanjen. Lantas
apa yang membuat ia bertahan untuk tetap menjadi pendidik sekalipun statusnya
honorer atau bukan?, tak lain adalah jiwa-jiwa pengabdian yang ia miliki
ditambah lagi sebagai seorang pemudi ia memiliki idealisme yang berorientasi
pada pengalaman. Tak salah jika ada plesetan
kata kalo PLS itu Pendidikan Luas Sekali, karena orang-orang PLS itu luwes-luwes harus pandai-pandai berkamoflase
disetiap bidang yang ada. Kata anggia.
Dari pengalaman
yang disampaikan anggia, apa yang mulai muncul dibenak kita? Semua tiada yang
salah dan tiada pembenaran yang mutlak untuk proses didik mendidik, karena
setiap kehidupan ini adalah ladang sosial dimana kita saling berinterkasi antar
sesama dan semua itu adalah terapan. Jangan lah berdebat teori kecuali itu
menjadi pedoman pelaksanaan, karena Indonesia disetiap sisinya membutuhkan
orang-orang yang luwes untuk ‘membangun’ lewat pendidikan.(w3n)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar