Tak mengenal waktu dan
tempat asalkan bahagia dan berkarya, seperti itulah yang dilakukan mereka, para
pemuda praktisi seni yang kurang apresisasi dan kurang difasilitasi. Tergabung
dalam sebuah organisasi yang mengatasnamakan seni dan cinta.
Mereka sering mengkhayal dan khayalan itulah
yang menjadi sebuah karya penuh estetika seperti yang dikatakan oleh Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu kreasi.
Pemuda-pemuda
ini berkreasi dengan segala keterbatasanya, namun keterbatasan itu tak
menggoyahkan dan mengoyakan jiwa mereka. Keterbatasan itu seolah menjadi api
penyulut untuk mereka yang berkreasi
untuk meretas kreatifitas dan makna hakiki tentang seni. Siang, sore,
malam mereka bercengkrama dengan rumah yang beratapkan langit dan berlantai
bumi, jiwa seni yang membuat mereka semakin agresif untuk tidak meminta belas
kasihan dengan meronta-ronta. Najis !!!
Kuatnya
kekeluargaan didalam organisasi ditambah lagi dengan mereka yang cinta akan
kebebasan dalam berkarya membuat daya juang mereka semakin ampuh untuk seni,
memang tak menuntut akan segala hal kebutuhan mereka dipenuhi namun sadarkah
bahwa ini potensi yang bukan lagi digali namun dipertinggi, dan diapresisasi
untuk dipertahankan. Karya yang mereka ciptakan sesungguhnya secara fisik
menunjukan ketekunan seorang mahasiswa untuk memiliki daya juang dan ketahanan
yang kuat (the survive) akan
pemikiran-pemikiran mereka tentang keadaan ini.
Pelaku-pelaku
seni ini tak pandai-pandai amat untuk
membuat karya ilmiah, tak pandai-pandai amat
untuk orasi dihadapan petinggi-petinggi pemilik investasi, namun mereka mempu
membuat hal “ilmiah” menjadi karya yang sangat indah. Dan saat ini yang yang
mereka tambat dalam hatinya bukan lagi kata sebagai senjata, kata adalah seni
mempengaruhi orang tetapi SENI ADALAH
SENJATA,SENI YANG AKAN MEMPENGARUHI KATA. Hati-hatilah dengan
“pelaku-pelaku” seni ini.
Orang-orang seni yang sederhana tapi bukan berarti tidak berbobot (:
BalasHapus