Rabu, 23 Agustus 2017

“Agent Of Change” Sebuah Refleksi


Oleh: Wendy
~Bagi Saya, persoalan mahasiswa sekarang ialah karena mereka mau terus meneruss memperpanjang jabatan pahlawan mereka. Kalau saja mereka mau berendah hati dan menerima kenyataan bahwa mereka adalah mahasiswa, saya kira persoalanya tidak seruwet seperti sekarang.( –Arif Budiman, sinar harapan, 20 februari 1969 dalam Eko Prasetyo 2015-)


Agent Of Chage, entah dari mana asal muasal kalimat itu yang mengandung arti ‘agen perubahan’. Selama menjadi mahasiswa ‘yang mau keluar’ pastinya kita tak hanya sekali dua kali mendengar kata-kata itu terlontar. Padahal dari mana asalnya hingga saat ini pun tidak diketahui sumber yang jelas, tentu pastinya dari hasil analisis sosial yang ada dalam tendensi kehidupan kampus. Memaknai agent of change merupakan hal yang sangat visioner tentunya sebagai mahasiswa, banyak kali disetiap sudut pandang orang-orang yang tengah asik bersua dalam ranah akademik menyatakan mahasiswa adalah bagian dari kaum muda yang akan membawa perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, keamanan, sosial, hingga budaya dan pada akhirnya menjadi sebuah wacana kuat. Kemudian akan diperhitunugkan sebagai kelompok yang memiliki daya tawar tinggi baik diinstansi manapun dan masyarakat sekitar tempatnya tinggal.

Saat ini menyosong hampir satu abad Indonesia bangsa kita mengalami dampak kemajuan teknologi yang pesat, banyak terjadi perubahan tata nilai didalam hidup bermasyarakat khususnya pada kaum muda(dalam hal ini mahasiswa). Tiada telihat gerak-gerik hingga langkah pasti untuk menjadi suatu tindakan yang terlihat pada kaum muda. Belum lagi ditambah dengan keadaan kaum muda yang memiliki idealisme tingkat tinggi menjadikan sebuah keinginan mencapai tujuan tanpa menghiraukan segala proses hingga teknik-tekniknya. Namun memang benar adanya, tidak bisa disalahkan siapa pelaku yang menyandang sebagai kaum muda untuk memiliki idealisme. Mereka telah terdidik dengan sistem yang mengharuskannya berkecimpung dalam politik praktis kampus(walaupun tidak semua menyadari). Mereka mencoba membuat perubahan besar mengerahkan segala kemampuanya mengorganisir teman-temanya yang sepaham untuk mewujudkan tujuanya. Namun Intervensi dari otonomi kampus menjadikanya ia semakin betah dalam keadaan demikian membuat mereka hanya ‘gaduh’ sesaat kemudian kembali tenang dan biasa saat menunggu jawabanya, sungguh ironi dan tirani.

Keluar dari kampus, melihat perkembangan yang ada di berbagai sektor Negara ini apalagi dalam era serba modern dan serba ‘enak’ perlu adanya suatu gagasan hingga aksi yang bisa memunculkan nilai bermutu untuk menunjang perubahan yang harus terjadi dalam konteks berbangsa. Sayangnya hal ini malah berbanding terbalik dan itu menyudutkan jati diri seorang yang menyandang status akademik, yakni Mahasiswa. Bagaimana tidak? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah lulusan perguruan tinggi yang bekerja adalah 12,24 persen. Jumlah tersebut setara 14,57 juta dari 118,41 juta pekerja di seluruh Indonesia. Sementara pengagguran lulusan perguruan tinggi mencapai 11,19 persen, atau setara 787 ribu dari total 7,03 persen orang yang tidak memiliki pekerjaan. Sedangkan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat, saat ini ada 3.221 universitas di seluruh Indonesia. Selain itu, masih ada 1.020 perguran tinggi agama di seluruh provinsi. Saat ini setiap tahun rata-rata ada 750 ribu lulusan pendidikan tinggi baru dari berbagai tingkatan[1].
Sungguh hal yang sangat berat bukan?, ketika kita dijuluki si agent of change atau bahkan hal tersebut sudah menjadi bagian dalam kepribadian dan identitas kita namun melihat keaadaan berdasarkan data yang kuat ditunjang oleh fakta yang amat riil tersebut masihkah kita memiliki ‘nilai tawar’ dimata masyarakat?. Keadaan tersebutlah yang membuat kondisi kaum muda (dalam hal ini mahasiswa) menjadi bagian dari masalah kehidupan berbangsa. Secara garis besar bangsa kita saat ini mengalami berbagai proses perubahan apalagi dizaman yang serba ‘ada’. Membuat para kaum muda semakin dibuat nyaman dan enggan untuk lebih keluar lagi. Sehingga tak diragukan lagi masalah semacam pengangguran sarjana yang akan meanambah beban disektor sosial dan ekonomi suatu bangsa akan terus bertambah, dalam kata lainya stagnan. Masalah tersbut cukup untuk menguatkan bahwa adanaya degradasi nilai kemanusiaan, kemasyarakatan, moral hingga religiusistas. Ditandai dengan maraknya kriminalitas disegala hal, mulai maling sandal hingga kasus mega korupsi yang tengah gencar di beritakan. Seharusnya sebebagai agent of change, kita tak perlu ragu menunjukan ide-ide kita berusaha mewujudkanya melalui proses yang ‘elegan’ tentunya. Mendorong kita untuk mempertahankan nilai-nilai yang masih relevan. Menciptakan nilai-nilai baru yang tentunya bisa menjawab kebutuhan[2].
Sebagai Warga Negara Indonesia pastinya kita telah mengenal entah secara luar saja maupun paham secara menyeuruh bahwa Indonesia merupakan negera hukum. Hiruk pikuk birokrasi hingga regulasi yang mengatasnamakan implementasi undang-undang kita rasakan setiap hari dari tataran lingkungan sekitar sampai area akademik sekalipun (Baca: Kampus). Adanya undang-undang tersebut bisa saja menjadi intervensi berat bagi kita, mahasiswa, atau mungkin bisa menjadi pengingat kalau kita memang harus berkehidupan secara sistematis. Ada beberapa teknis yang kita jumpai untuk membuat perubahan dalam konteks mahasiswa mulai dari cara-cara halus, misalnya saja mediasi atau audiensi suatu masalah, menciptakan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat,katakanlah lolos sebuah karya tulis ilmiah baik berbasis essai maupun berbasis proyeksi pemberdayaan. hingga ujung tombak bagi mahasiswa mungkin adalah penyampaian aspirasi jalanan alias unjukrasa(demonstrasi). Inilah sayangnya hiruk pikuk yang saya maksudkan, ketika ingin membuat perubahan dan lagi-lagi atas ide-ide kita yang luar biasa undang-undanglah yang menjadi intervensi berat bagi pemilik ide,sungguh dilematis.
Mari sejenak kita refleksikan semua, masih ingatkah tentang demonstrasi yang terjadi di kampus Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang beberapa bulan silam yang mengkritik kebijakan Uaang Kuliah Tunggal?. Tidak lain lagi, hal tersebut adalah dilatar belakangi suatu persoalan dan munculah ide-ide, namun apa yang terjadi?, aktor dari ide penyampai ide tersebut adalah seorang presiden mahasiswa UNSRI malah di laporkan ke polisi atas berbagai tuduhan dan ancaman Droop Out(D.O:Dikeluarkan dari bangku perkuliahan)[3], sekali lagi dengan kaitan undang-undang, itulah dilematis yang dimaksudkan disini. Ah sudahlah... yang terpenting bagi kita saat ini adalah mau berbicara di setiap panggung diskusipun sudah cukup atau mungkin lebih cukup lagi dikelas dengan teman-teman yang tentu berbeda-beda kapasistas diskusinya. Baca saja tentang Golput 1973, Malari 1974 hingga Trisakti 1998 dari internet, toh juga sudah bisa untuk membuat perubahan, setidaknya perubahan agar diskusi menjadi sedikit memanas.
Kini muatan isi dari sebuah kata “Agent Of Change” adalah sebuah refleksi besar dan tuntutan konstruktif kepada kita semua. Mungkin secara menyeluruh ini menjadi peringatan dan tentunya refleksi yang membawa arah berkemajuan yang baik bagi kita.
 Tanyalah pada dirimu sendiri apa yang sekrang ini jadi keinginanmu? Punyakah kamu keinginan untuk berontak, melawan dan mengubah keadaan? Pasti kamu ingin tapi peraturan dan keadaan tidak membuat kamu berani melakukanya. Suasana di seputarmu telah lama meredam keiginan itu. Disajikan padamu data, berita dan informasi yang membuatmu gelisah sekaligus rindu. Gelisah atas ketidakpastian masa depan. Tetapi rindu untuk memperoleh kemapanan yang dijanjikan. Dua-duanya kini telah jadi alat untuk menaklukan kesadaran militan yang ada dalam dirimu. Kamu jadi mirip boneka yang digerakkan oleh situasi dan dikendalikan dengan aturan”.[4]
Jadi, apakah dengan mengetahui makna “Agent Of Change” kita mampu membuat perubahan atau malah membuat khayalan-khayalan baru?.


[1]Lihat: http://www.harnas.co/2016/11/17/kemenaker-jumlah-pengangguran-sarjana-meningkat
[2] Ada kutipan dari sebuah buku berjudul “pendampingan kaum muda” karya A.M Mangunhardjana. Diterbitkan di yogyakarta pada 1986 oleh penerbit KANISIUS
[3]  Dilansir dari kompas.com kontributor bernama Amriza Nursatria berita diunggah pada 3 Agustus 2017
[4] Di ungkapkan oleh Eko Prasetyo, dalam bukunya yang ditulis sendiri berjudul “ Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” hal.165 diterbitkan di malang pada mei 2015 oleh penerbit intrans.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar